PEMBAHASA
Kamis, 19 September 2013
MANUSIA DALAM MENSIKAPI FENOMENA ALAM
Oleh : Sawiyanto, S.Pd.I, M.A
PEMBAHASA
PEMBAHASA
2.1 Perkembangan Pikiran Manusia
A. Sifat Unik Manusia
Dibandingkan
dengan makhluk lain, jasmani manusia adalah lemah, sedangkan rohani,
akal budi, dan kemauannya sangat kuat. Manusia tidak mempunyai tanduk,
taji, ataupun sengat, maka untuk membela diri terhadap serangan dari
makhluk lain dan untuk melindungi diri terhadap pengaruh lingkungan yang
merugikan, manusia harus memanfaatkan akal budinya yang cemerlang.
Kemauannya yang keras menyebabkan manusia dapat mengendalikan
jasmaninya.
Hal
ini dapat menimbulkan efek yang negatif misalnya, manusia dapat mogok
makan, dapat minum-minuman keras sampai mabuk, dan bahkan dapat bunuh
diri. Kalau tubuh mendapat pengaruh yang negatif dari lingkungan, maka
timbul reaksi yang mendorong tubuh supaya melepaskan diri dari
lingkungan yang merugikan itu. Tetapi kemauan keras dapat memaksa tubuh
supaya tetap menerima pengaruh yang negatif itu. Jadi, sifat unik
manusia itu adalah akal budi dan kemauannya menaklukkan jasmaninya.
B. Rasa Ingin Tahu
Dengan
pertolongan akal budinya, manusia menemukan berbagai cara untuk
melindungi diri terhadap pengaruh lingkungan yang merugikan. Tetapi
adanya akal budi itu juga menimbulkan rasa ingin tahu yang selalu
berkembang. Dengan kata lain, rasa ingin tahu itu tidak pernah dapat
dipuaskan. Akal budi manusia tidak pernah puas dengan pengetahuan yang
telah dimilikinya. Rasa ingin tahu mendorong manusia untuk melakukan
berbagai kegiatan yang bertujuan untuk mencari jawaban atas berbagai
persoalan yang muncul di dalam pikirannya.
Kegiatan
yang dilakukan manusia itu kadang-kadang kurang serasi dengan
tujuannya sehingga tidak dapat menghasilkan pemecahan. Tetapi kegagalan
biasanya tidak menimbulkan rasa putus asa, bahkan seringkali justru
membangkitkan semangat yang lebih menyala-nyala untuk memecahkan
persoalan. Dengan semangat yang makin berkobar ini diadakanlah
kegiatan-kegiatan yang dianggap lebih serasi dan dapat diharapkan akan
menghasilkan penyelesaian yang memuaskan.
Kegiatan untuk mencari pemecahan dapat berupa:
1. Penyelidikan langsung.
2. Penggalian hasil-hasil penyelidikan yang sudah pernah diperoleh orang lain.
3. Kerjasama dengan penyelidik-penyelidik lain yang juga sedang memecahkan soal yang sama atau yang sejenis.
Sebenarnya
setiap orang mempunyai rasa ingin tahu, meskipun kekuatan atau
intensitasnya tidak semua sama, sedangkan bidang minatnyapun
berbeda-beda. Rasa ingin tahu inilah yang dapat diperkuat ataupun
diperlemah oleh lingkungan.
Jadi
rasa ingin tahu tiap manusia pada setiap saat belum tentu sama kuat,
demikian pula kelompok fenomena yang menimbulkan rasa ingin tahu
biasanya berbeda-beda dan dapat berubah-ubah menurut keadaan. Tidak
mungkin setiap individu mempunyai rasa ingin tahu yang sama kuat
terhadap segala fenomena yang terjadi dari alam.
Rasa
ingin tahu yang terus berkembang dan seolah-olah tanpa batas itu
menimbulkan perbendaharaan pengetahuan pada manusia itu sendiri. Hal ini
tidak saja meliputi kebutuhan-kebutuhan praktis untuk hidupnya
sehari-hari seperti bercocok tanam, tetapi pengetahuan manusia juga
berkembang sampai kepada hal-hal tentang keindahan.
C. Rasa Ingin Tahu Menyebabkan Alam Pikiran Manusia Berkembang
Ada dua macam perkembangan yang akan kita tinjau, yaitu:
1. Perkembangan alam pikiran manusia sejak zaman purba hingga dewasa ini.
2. Perkembangan alam pikiran manusia sejak dilahirkan sampai akhir hayatnya.
Perkembangan
alam pikiran dapat juga disebabkan oleh rangsangan dari luar, tanpa
dorongan dari dalam yang berupa rasa ingin tahu. Jadi dengan kata lain,
bahwa alam pikiran manusia berkembang terutama karena ada dorongan dari
dalam, yaitu rasa ingin tahu.
2.2 Mitos, Penalaran, dan Pengetahuan Pangkal Kelahiran Ilmu Pengetahuan Alam
A. Mitos
Menurut A. Comte, bahwa dalam sejarah perkembangan manusia itu ada tiga tahap, yaitu:
1. Tahap teologi atau tahap metafisika
2. Tahap filsafat
3. Tahap positif atau tahap ilmu
Dalam
tahap teologi atau tahap metafisika, manusia menyusun mitos atau
dongeng untuk mengenal realita atau kenyataan, yaitu pengetahuan yang
tidak obyektif, melainkan subyektif. Mitos ini diciptakan untuk
memuaskan rasa ingin tahu manusia. Dalam alam pikiran, mitos, rasio atau
penalaran belum terbentuk, yang bekerja hanya daya khayal, intuisi,
maupun imajinasi.
Menurut
C.A. van Peursen, mitos adalah suatu cerita yang memberikan pedoman
atau arah tertentu kepada sekelompok orang. Cerita itu dapat ditularkan,
dapat pula diungkapkan lewat tari-tarian atau pementasan wayang, dan
sebagainya. Inti cerita adalah lambang-lambang yang mencetuskan
pengalaman manusia beserta lambang kejahatan dan kebaikan, kehidupan dan
kematian, dosa dan penyucian, juga perkawinan dan kesuburan.
Pada
tahap teologi ini, manusia menemukan identitas dirinya. Manusia
sebagai subyek yang masih terbuka dikelilingi oleh obyek yaitu alam,
sehingga manusia mudah sekali dimasuki oleh daya dan kekuatan alam.
Lewat mitos inilah, manusia dapat turut serta mengambil bagian dalam
kejadian-kejadian alam sekitarnya, dan dapat menanggapi daya kekuatan
alam.
Berikut ini akan dijelaskan contoh-contoh mengenai mitos, yaitu:
1. Gunung api meletus hebat, menimbulkan gempa bumi, mengeluarkan lahar panas dan awan
panas, sehingga menimbulkan banyak korban manusia. Manusia pada tahap
teologi (menurut A. Comte) atau pada tahap mitos (C.A. van Peursen)
belum dapat melihat realita ini dengan inderanya.
2. Gempa
bumi diduga terjadi karena Atlas (raksasa yang memikul bumi pada
bahunya) memindahkan bumi dari bahu yang satu ke bahu yang lain.
3. Gerhana bulan disangka terjadi karena bulan dimakan raksasa.
4. Bunyi guntur dikira ditimbulkan oleh roda kereta yang dikendarai dewa melintasi langit.
Mencari
jawaban atas masalah seperti itu, dan menghubungkannya dengan
makhluk-makhluk gaib, disebut berpikir secara irasional. Demikianlah
manusia pada tahap mitos atau teologi menjawab keingintahuannya dengan
menciptakan dongeng-dongeng atau mitos, karena alam pikirannya masih
terbatas pada imajinasi atau intuisi.
B. Penalaran Deduktif (rasionalisme)
Dengan
bertambah majunya alam pikiran manusia dan makin berkembangnya
cara-cara penyelidikan, manusia dapat menjawab banyak pertanyaan tanpa
mengarang mitos.
Menurut
A. Comte, dalam perkembangan manusia sesudah tahap mitos, manusia
berkembang dalam tahap filsafat. Pada tahap filsafat, rasio sudah
terbentuk, tetapi belum ditemukan metode berpikir secara obyektif. Rasio
sudah mulai dioperasikan, tetapi kurang obyektif. Berbeda dengan pada
tahap teologi, pada tahap filsafat ini manusia mencoba mempergunakan
rasionya untuk memahami obyek secara dangkal, tetapi obyek belum
dimasuki secara metodologis yang definitif.
Perkembangan alam pikiran manusia merupakan suatu proses, maka
manusia tidak puas dengan pemikiran ini, sehingga berkembang ke dalam
tahap positif atau tahap ilmu. Dalam tahap positif atau tahap ilmu ini,
rasio sudah dioperasikan secara obyektif. Manusia menghadapi obyek
dengan rasio.
Dalam
menghadapi peristiwa-peristiwa alam, misalnya gunung api meletus yang
menimbulkan banyak korban dan kerusakan, manusia tidak lagi mengadakan
selamatan dengan tari-tarian dan nyanyian, tetapi akan mengamati
peristiwa itu, mempelajari mengapa gunung api itu dapat meletus,
kemudian berusaha mencari penyelesaian dengan tindakan-tindakan yang
sesuai dengan hasil pengamatannya. Misalnya, dengan mencegah terjadinya
letusan yang hebat. Untuk mengurangi banyaknya korban, penduduk di
sekeliling gunung api tersebut dipindahkan ke daerah lain. Inilah bukti
bahwa manusia lama-kelamaan tidak puas dengan mitos sebagai pemikiran
yang irasional, kemudian mencari jawaban yang rasional.
Pemecahan
secara rasional berarti mengandalkan rasio dalam usaha memperoleh
pengetahuan yang benar. Kaum rasionalis mengembangkan paham yang disebut
rasionalisme. Dalam menyusun pengetahuan, kaum rasionalis menggunakan
penalaran deduktif. Penalaran deduktif adalah cara berpikir yang
bertolak dari pernyataan yang bersifat umum untuk menarik kesimpulan
yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif ini
menggunakan pola berpikir yang disebut silogisme. Silogisme itu terdiri
atas dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Kedua pernyataan itu
disebut premis mayor dan premis minor. Kesimpulan atau konklusi diperoleh dengan penalaran deduktif dari kedua premis tersebut.
Dengan
demikian, jelas bahwa penalaran deduktif ini pertama-tama harus mulai
dengan pernyataan yang sudah pasti kebenarannya. Aksioma dasar ini yang
dipakai untuk membangun sistem pemikirannya, diturunkan atau berasal
dari idea yang menurut anggapannya jelas, tegas, dan pasti dalam pikiran
manusia. Dengan penalaran deduktif ini dapat diperoleh bermacam-macam
pengetahuan mengenai sesuatu obyek tertentu tanpa ada kesepakatan yang
dapat diterima oleh semua pihak. Di samping itu juga terdapat kesulitan
untuk menerapkan konsep rasional kepada kehidupan praktis.
C. Penalaran Induktif (empirisme)
Pengetahuan
yang diperoleh berdasarkan penalaran deduktif ternyata mempunyai
kelemahan, maka muncullah pandangan lain yang berdasarkan pengalaman
konkret. Mereka yang mengembangkan pengetahuan berdasarkan pengalaman
konkret disebut penganut empirisme. Paham empirisme menganggap bahwa
pengetahuan yang benar ialah pengetahuan yang diperoleh langsung dari pengalaman konkret.
Penganut
empirisme menyusun pengetahuan dengan menggunakan penalaran induktif.
Penalaran induktif adalah cara berpikir dengan menarik kesimpulan umum
dari pengamatan, atas gejala-gejala yang bersifat khusus. Misalnya,
pada pengamatan atas logam besi, tembaga, aluminium, dan sebagainya,
jika dipanasi ternyata menunjukkan bertambah panjang.
Dari
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan yang diperoleh
hanya dengan penalaran deduktif tidak dapat diandalkan karena bersifat
abstrak dan lepas dari pengalaman. Demikian pula dengan pengetahuan yang
diperoleh hanya dari penalaran induktif juga tidak dapat diandalkan
karena kelemahan pancaindera. Karena itu himpunan pengetahuan yang
diperoleh belum dapat disebut ilmu pengetahuan.
D. Pendekatan Ilmiah sebagai Kelahiran Ilmu Pengetahuan Alam
Metode
keilmuan atau pendekatan ilmiah adalah perpaduan antara rasionalisme
dan empirisme. Pengetahuan yang disusun dengan cara pendekatan ilmiah
atau menggunakan metode keilmuan, diperoleh melalui kegiatan penelitian
ilmiah. Penelitian ilmiah ini dilaksanakan secara sistematik dan
terkontrol berdasarkan atas data-data empiris. Kesimpulan dari
penelitian ini dapat menghasilkan suatu teori. Metode keilmuan itu
bersifat obyektif, bebas dari keyakinan, perasaan dan prasangka pribadi,
serta bersifat terbuka.
Jadi,
suatu himpunan pengetahuan dapat digolongkan sebagai ilmu pengetahuan
bilamana cara memperolehnya menggunakan metode keilmuan, yaitu gabungan
antara rasionalisme dan empirisme. Secara lengkap dapat dikatakan
bahwa suatu himpunan pengetahuan dapat disebut Ilmu Pengetahuan Alam
bilamana memenuhi persyaratan berikut, yaitu: obyeknya pengalaman
manusia yang berupa gejala-gejala alam, yang dikumpulkan melalui metode
keilmuan serta mempunyai manfaat untuk kesejahteraan manusia.
2.3 Metode Ilmiah sebagai Ciri Ilmu Pengetahuan Alam
Berpikir
secara rasional dan berpikir secara empiris membentuk dua kutub yang
saling bertentangan. Kedua belah pihak, masing-masing mempunyai
kelebihan dan kekurangannya. Gabungan antara dua pendekatan rasional dan
pendekatan empiris dinamakan metode ilmiah. Rasionalisme memberi
kerangka pemikiran yang koheren dan logis, sedangkan empirisme dalam
memastikan kebenarannya memberikan kerangka pengujiannya. Dengan
demikian, maka pengetahuan yang dihasilkan yaitu pengetahuan yang
konsisten dan sistematis serta dapat diandalkan, karena telah diuji
secara empiris.
Metode
ilmiah merupakan cara dalam memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Dan
dapat juga dikatakan bahwa metode ilmiah merupakan gabungan antara
rasionalisme dan empirisme. Cara-cara berpikir rasional dan empiris
tersebut tercermin dalam langkah-langkah yang terdapat dalam proses
kegiatan ilmiah tersebut.
Kerangka dasar, prosedurnya dapat diuraikan atas langkah-langkah seperti berikut:
1. Penemuan atau penentuan masalah
Dalam
kehidupan sehari-hari, kita menghadapi berbagai masalah. Kesadaran
mengenai masalah yang kita temukan secara empiris tersebut menyebabkan
kita mulai memikirkannya secara rasional.
2. Perumusan kerangka masalah
Langkah ini merupakan usaha untuk mendeskripsikan permasalahannya secara lebih jelas.
3. Pengajuan hipotesis
Hipotesis
adalah kerangka pemikiran sementara yang menjelaskan hubungan antara
unsur-unsur yang membentuk suatu kerangka permasalahan.
4. Deduksi hipotesis
Kadang-kadang, dalam menjembatani permasalahan secara rasional dengan pembuktian secara empiris membutuhkan langkah perantara.
5. Pengujian hipotesis
Langkah ini merupakan usaha untuk mengumpulkan fakta-fakta yang relevan dengan deduksi hipotesis.
6. Keterbatasan dan keunggulan metode ilmiah.
Keterbatasan:
Semua
kesimpulan ilmiah atau kebenaran ilmu termasuk Ilmu Pengetahuan Alam
bersifat tentatif, yang artinya kesimpulan itu di anggap benar selama
belum ada kebenaran ilmu yang dapat menolak kesimpulan itu, sedangkan
kesimpulan ilmiah yang dapat menolak kesimpulan ilmiah yang terdahulu,
menjadi kebenaran ilmu yang baru. Keterbatasan lain dari metode ilmiah
adalah tidak dapat menjangkau untuk membuat kesimpulan yang bersangkutan
dengan baik dan buruk atau sistem nilai, tentang seni dan keindahan,
dan juga tidak dapat menjangkau untuk menguji adanya Tuhan.
Keunggulan:
Ilmu
atau Ilmu Pengetahuan Alam mempunyai ciri khas yaitu obyektif,
metodik, sistematik, dan berlaku umum. Dengan sifat-sifat tersebut,
maka orang yang berkecimpung atau selalu berhubungan dengan ilmu
pengetahuan akan terbimbing sedemikian rupa hingga padanya
terkembangkan suatu sikap ilmiah.
Yang dimaksud dengan sikap ilmiah tersebut adalah sikap:
a. Mencintai kebenaran yang obyektif, dan bersikap adil.
b. Menyadari bahwa kebenaran ilmu tidak absolut.
c. Tidak percaya pada takhayul, astrologi, maupun untung-untungan.
d. Ingin tahu lebih banyak.
e. Tidak berpikir secara prasangka.
f. Tidak percaya begitu saja pada suatu kesimpulan tanpa adanya bukti-bukti yang nyata.
g. Optimis, teliti, dan berani menyatakan kesimpulan yang menurut keyakinan ilmiahnya adalah benar.
PENUTUP
Demikianlah
karya ilmiah ini yang dapat penulis buat mengenai materi berjudul
“Perkembangan Pemikiran Manusia dalam Mensikapi Fenomena Alam” yang
menjadi pokok pembahasan atau intisari permasalahannya. Karya ilmiah ini
penulis buat dengan sebaik mungkin, tetapi penulis menyadari
bahwasanya masih terdapat kekurangan dan kelemahan dari karya ilmiah
ini.
Penulis
berharap para pembaca dapat memberikan masukan dan saran yang
membangun atau konstruktif untuk kebaikan atau kesempurnaan karya
ilmiah ini, dan berguna untuk masa yang akan datang. Akhirnya, tak lupa
penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga terwujudnya karya ilmiah ini.
Atas perhatiannya, penulis ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
3.1 Kesimpulan
Segala
yang diketahui manusia itu adalah pengetahuan. Pengetahuan itu dapat
digolongkan menjadi dua bagian, yaitu pengetahuan ilmiah dan pengetahuan
non-ilmiah. Pembagian ini sangat tergantung dari cara bagaimana
pengetahuan itu diperoleh.
Pengetahuan
non-ilmiah didapat antara lain dari prasangka, coba-coba, intuisi, dan
tidak sengaja. Pengetahuan ilmiah didapat dari usaha yang dasar
(sengaja) dengan syarat obyektif, metodik, sistematik, dan berlaku umum.
Langkah metode ilmiah itu adalah:
1. Perumusan masalah
2. Penyusunan hipotesis
3. Pengujian hipotesis
4. Penarikan kesimpulan
Kelemahan
metode ilmiah termasuk Ilmu Pengetahuan Alam adalah bahwa metode ini
tidak dapat menjawab atau memperoleh kesimpulan dalam hal-hal yang
menyangkut keindahan, sistem penilaian baik dan buruk, serta agama yang
berasal dari wahyu ilahi.
Keunggulan metode ilmiah antara lain adalah dapat membuat kita menjadi:
1. Obyektif dan universal
2. Menceritakan kebenaran
3. Tidak percaya kepada takhayul
4. Mempunyai pikiran yang terbuka
5. Tidak percaya begitu saja kepada pendapat sebelum ada bukti yang nyata
6. Bersikap optimis, teliti, dan berani karena benar
3.2 Saran-saran
1. Agar kita semua sebagai umat manusia, diwajibkan lebih memperhatikan dan menjaga alam semesta ini dengan sebaik mungkin.
2. Agar kita semua dapat menumbuhkan rasa keingintahuan kita terhadap sasaran objek yang menjadi perhatian kita.
3. Agar
umat manusia dapat mengembangkan imajinasi, intuisi, daya khayal, dan
kreatifitasnya masing-masing demi untuk kebaikan alam itu sendiri.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar