Jumat, 20 Desember 2013

KONSEP ISLAM TENTANG KEPEMIMPINAN

0 komentar
KONSEP ISLAM TENTANG KEPEMIMPINAN
Oleh Sawiyanto, M.A

Sekarang ini kita selalu dihadapkan dengan kondisi proses kegiatan pemilihan pimpinan daerah, baik pimpinan tingkat provinsi maupun pimpinan tingkat kabupaten/kota. Kita semua tentu berharap agar proses tersebut berjalan dengan baik, lancar, aman, jujur dan adil, yang pada akhirnya diharapkan akan melahirkan seorang pemimpin yang benar-benar terbaik dan tepat untuk menduduki tampuk pimpinan sesuai diharapkan. 
Islam sebagai sebuah ajaran yang lengkap tentu telah mmemberikan petunjuk dan aturan tentang bagaimana proses pemilihan kempimpinan tersebut dijalankan dengan benar, dan baik, khususnya petunjuk tentang syarat dan kriteria pimpinan yang tepat untuk dipilih sebagai pimpinan umat dan bangsa untuk menuju umat dan bangsa yang baldatun thayibatun warabbun gafur. Semua itu tentu telah ditunjukkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Dalam hubungan ini tentu contoh pemimpin yang mencerminkan kriteria yang paling ideal adalah diri Rasulullah SAW, Hal itu sebagaimana firman Allah dalam surah al-Ahzab: 21:  “Sesungguhnya pada diri Rasulullah SAW itu terdapat contoh tauladan yang terbaik. Hal itu karena dalam diri Rasulullah terdapat akhlak yang sangat baik, sebagaimana dinyatakan dalam surah al-Qalam: 4. Bahkan Aisyah RA, mengatakan, bahwa akhlak Rasulullah SAW itu adalah penerapan Alquran dalam segala aspek kehidupannya (Abdul Halim Mahmud: 1990). 
Sifat utama yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW sebagai pemimpin terkemuka itu, tercermin dalam empat sifat utama Rasulullah, yaitu: Pertama: sifat shiddiq yakni selalu menampilkan dan memperjuangkan kebenaran diatas segala-galanya; Kedua, sifat amanah yakni selalu menjunjung tinggi dan menjalankan amanah baik amanah Allah dan umat; Ketiga sifat fathanah, yakni mempimpin dengan cerdas, arif dan penuh hikmah; Keempat tablig, yakni selalu mengajak kepada kebaikan dan kebenaran dan tidak ada sesuatu yang disimpan dan disembunyikan. 
Hal yang sama juga ditunjukkan oleh para Khulafaurrasyidin. Sayyid Husen al-'Affany menjelaskan dalam bukunya, Tarthib al-Afwah (1/81) bahwa Abu Bakar Shiddiq ra itu pemimpin sederhana dan adil dalam melaksanakan tugas. Beliau menerapkan persamaan pembagian kekayaan negara kepada seluruh rakyatnya. Kepemimpinan Abu Bakar ra itu sejalan dengan pidato politik beliau ketika dibaiat oleh umat islam sebagai Khalifah pengganti Rasulullah SAW sebagai berikut: "Wahai manusia. sesungguhnya aku telah memerintah kalian dan aku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Seandainya aku berbuat kebaikan, ikutilah, dan bila aku berbuat keburukan, luruskanlah. Sedekah merupakan amanah, sedangkan dusta adalah khianat. Orang yang lemah di antara kalian menjadi orang kuat di sisiku sampai kuberikan haknya, insya Allah. Sedangkan orang yang kuat di antara kalian menjadi orang lemah di sisiku sampai aku mengambil hak darinya, insya Allah. Tidaklah satu pun kaum yang meninggalkan jihad di jalan Allah kecuali dia bakal menimpakan kehinaan kepada mereka tidaklah menyebar kekejian pada suatu kaum melainkan Dia akan menyelimutinya dengan malapetaka. Patuhilah aku selama aku patuh kepada Allah swt dan Rasul-Nya. Seandainya aku berbuat durhaka, tentu kalian tidak wajib mematuhiku. Lakukanlah salat, semoga Allah mengasihi kalian semua”. 
Berdasarkan contoh petunjuk alquran dan contoh prilaku kepemimpinan Rasulullah SAW serta para sahabatnya itu, Imam al-Mawardy dalam bukunya, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, menjelaskan tentang syarat seorang pemimpin umat dan bangsa. Di antaranya, pemimpin itu menurutnya harus memiliki ilmu pengetahuan. Dalam Islam, pemimpin bukan saja harus piawai dalam mengatur urusan negara, tapi juga berpengetahuan luas tentang agama. Oleh karena itu idealnya seorang pemimpin negara di samping memiliki pengetahuan dan kecerdasan dalam urusan negara (politik) tetapi juga harus memiliki pengetahuan agama, sebagaimana Khulafa' al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali), Selain itu, seorang pemimpin juga mesti sehat jasmani, punya pemikiran (visi dan misi) yang jelas, serta berani dan tegas dalam bertindak. 
Di samping semua itu, suatu syarat pemimpin yang paling penting menurut al-Mawardi, seorang pemimpin mesti seorang yang adil (al-Imam al-Adil). Jabir Qamihah dalam bukunya, al-Mu'aradhah Fi al-Islam, menjelaskan, pemimpin adil ialah pemimpin yang adil pada dirinya (takwa), dan adil dalam menjalankan amanah kepemimpinan, sebagaimana firman Allah dalam surah al-Nisa': 58. Adil pada dirinya (takwa) ialah pemimpin yang dekat kepada Tuhan, dirinya terhindar dari perbuatan dosa, memiliki sifat wara' yang tidak terobsesi mengejar kepentingan dunia, dan dapat dipercaya dalam memegang amanah kepemimpinan. Dan, adil dalam kepemimpinan itu juga menghendaki adil dalam aspek sosial (keadilan sosial) dan adil dalam menerapkan hukum. Keadilan sosial itu di antaranya pembebasan kekayaan negara dari eksploitasi negara asing, menerapkan sistem perekonomian Islam, dan keadilan dalam pembagian kekayaan Negara kepada semua lapisan masyarakat (Muhammad Imarah: 1995). Keadilan sosial itu juga diterapkan dalam mengangkat orang yang layak untuk memegang jabatan, bukan pengangkatan yang dipaksakan hanya karena kepentingan keluarga. Prilaku adil itu diterapkan dalam setiap perbuatan, perkataan, dan dalam penetapan keputusan hukum (Tafsir al-manar: 5/179). Seorang pemimpin yang adil laksana pengembala yang penuh kasih terhadap hewan gembalannya. Dia terus mengembala sebaik mungkin, melindungi (hewan gembalannya) dari ancaman kejahatan dan binatang buas, serta menjaganya dari cuaca dingin dan panas. 
Berdasarkan paparan di atas Al-Mawardi, sebagaimana dituturkan oleh Ahmad Muhammad Jamal dalam kitabnya Muhimmat al Hakim al-Muslim menyimpulkan sifat-sifat para pemimpin yang baik dan harus dipenuhi adalah: berpengetahuan, bijaksana, zuhud, wara`, takut (raja), bermakrifah (memiliki pengetahuan mendalam tentang tuhan) berbelas kasihan terhadap rakyat, menjaga kemaslahatan kaum muslim, senantiasa sibuk dan memikirkan urusan dan kepentingan umat atau rakyatnya, menjaga harta milik rakyatnya, mengokohkan Negara mereka dan melebarkan sayap Islam di muka bumi sehingga tidak menjadi fitnah, dan agama hanya milik Allah swt semata”. Kesimpulannya adalah pemimpin harus mampu membina sekaligus menjadi pelindung umat dan agama. Dan yang paling mendasar adalah seorang pemimpin harus taat kepada Allah swt dan Rasul-Nya.
Islam telah menetapkan syarat tertentu yang mesti terpenuhi pada diri seorang pemimpin, tentu semua itu dapat menjadi referensi atau bahan pertimbangan bagi kita semua dalam menentukan seorang pemimpin, baik pemimpin Negara maupun pemimpin dalam berbagai lini kehidupan. Sebaliknya seharusnya kita selalu sadar dan waspada sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah saw dalam hadis beliau: Iza wusyidal amru ila ghairi ahlihi pantazhiris sa’ah. (jika suatu persoalan (termasuk urusan kepemimpinan) diserahkan kepada yang bukan ahlinya atau memenuhi persyaratan yang bauk, maka tunggulah kehancurannya.

Suatu Negara atau daerah akan aman dan makmur ketika seorang pemimpinnya melaksanakan amanah dengan sungguh-sungguh dan memihak pada kepentingan rakyat, bukan mementingkan diri sendiri dan keluarganya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Perencanaan merupakan bagian penting dalam mewujudkan tujuan. Kegagalan dalam perencanaan berarti merencanakan kegagalan. Perencanaan harus berbasis pada kebutuhan atau need assessment dan berkelanjutan (Direktur Pendis Kemenag RI)